Dalam hidup ini
berbagai kejadian menjadi suatu kehendak bagi kita untuk melanjutkan hidup.
Banyak fase-fase yang kita lalui, mulai fase kanak-kanak (SD, SMP) menjadi
remaja (SMA), hingga remaja menjadi dewasa (Mahasiswa) yang biasa disebut
puberitas. Dalam hal ini puberitas menjadi masa yang sangat penting bagi
kehidupan pendidikan setiap orang. Dimana setiap orang pasti mengalami apa yang
namanya itu fase peralihan. Tak semua orang dapat melalui fase tersebut.
Terkadang mereka terjebak dalam kesenangan masa-masa remaja (SMA) yang bahkan
tak tepat untuk berada dalam fase dewasa (Mahasiswa). Dalam hal ini seseorang
yang mengalami puberitas sangat perlu untuk beradaptasi terhadap lingkungannya.
Adaptasi yang pertama adalah intensitas keterlibatan pembelajar tersebut karena ketika masih
berada dalam lingkungan SD, SMP, dan SMA, para pembelajar umumnya masih
“didikte” atau diberitahu dalam melakukan sesuatu atau mengambil tindakan oleh
Guru-Guru di sekolah. Para siswa dan siswi umumnya pasif (walau tidak semua siswa dan siswi pasif) dalam hal
pencarian informasi. Kebanyakan hal, kegiatan, dan informasi yang menyangkut
lingkungan sekolah diumumkan baik dari pengeras suara, pengumuman langsung di
kelas, maupun selebaran. Sehingga tidak jarang juga hal ini menimbulkan
persepsi “kemanjaan” siswa dan siswi di sekolah. Persepsi ini didukung juga
oleh pernyataan dari para ahli yang menyebutkan bahwa masa-masa SMP dan SMA
merupakan masa peralihan pikiran dan sikap dari kekanak-kanakan, remaja, hingga
pertengahan dewasa, dimana sering disebut juga sebagai masa pubertas yang masih
belum bisa memutuskan suatu hal sendiri atau perlu rekomendasi dari orang
terdekat.
Ketika kata siswa beralih
dan bertransformasi menjadi kata mahasiswa,
lingkungan yang mempengaruhi pembelajarnya juga berbeda. Di lingkungan kampus,
mahasiswa dituntut untuk selalu proaktif untuk menggali informasi baik yang
sedang hangat terjadi maupun yang menyangkut materi kuliah. Seseorang yang
berada di tingkat mahasiswa di latih untuk mandiri dan belajar bersosialisasi
dari unit kegiatan mahasiswa (UKM) yang berada di lingkungan universitas.
Acara-acara diluar jam kuliah seperti seminar dan workshop juga merupakan media
mahasiswa untuk menambah wawasan dan pengetahuan yang kelak bisa digunakan di
kehidupan bermasyarakat.
Adaptasi yang kedua adalah dari
segi materi pembelajaran. Materi
pelajaran yang didapat ketika di sekolah menengah tidak jauh berbeda dengan
materi yang didapat di perguruan tinggi dan univeritas. Namun, jumlah materi
dan pendalamannya yang perlu di pahami. Saat di sekolah menengah, materi
pelajaran masih tergolong umum, dasar, dan tidak terlalu mendalam. Hal ini
mengingat kemampuan siswa dalam menerima materi yang terlampau banyak dan
jumlah waktu yang digunakan relative pendek. Berbeda dengan sistem di
universitas yang mengharuskan mahasiswa untuk mendalami materi kuliah secara
konsisten dan benar-benar dipahami. Pengklasifikasian jurusan dan program studi
seperti jurusan bahasa inggris yang secara spesifik mempelajari bahasa inggris
mulai dari dasar hingga tingkat advance adalah faktor yang mepengaruhi
berbedanya segi materi dalam lingkungan pendidikan di universitas dengan di
sekolah menengah.
Adaptasi tersebut diatas dilakukan tidak lepas dari suatu pandangan bahwa
mahasiswa harus lebih berwawasan tinggi, mendalam, kreatif, dan mandiri dari
siswa-siswi sekolah menengah. Peluang mahasiswa untuk berpartisipasi dalam
lingkungan kerja yang juga dibilang besar jika mahasiswa tersebut memang benar-benar cerdas yang
merupakan hasil dari disiplin dan perjuangan keras ketika menuntut ilmu di
lingkup universitas.
Beban pikiran pada mahasiswa juga berbeda daripada siswa. Salah satu beban
pikiran tersebut adalah bahwa mahasiswa itu harus bekerja dan pekerjaannya pun
harus yang tinggi dalam hal status dan gaji daripada siswa. Hal ini karena
perbedaan tingkatan pendidikan dan pengetahuan yang didapat. Masyarakat umumnya
memandang jika seorang mahasiswa bekerja yang memliki level bawah seperti
bekerja menjadi pedagang kaki lima, maka mahasiswa itu dianggap sebagai
mahasiswa gagal walaupun ia sudah memperoleh gelar S1 sekalipun. Penyebabnya
karena masyarakat cenderung ingin melihat hasil nyata dan konkrit dari
seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi. Ada anggapan
yang berkembang di masyarakat “buat apa kuliah tinggi-tinggi jika kerjanya pada
akhirnya hanya mendorong gerobak”. Ada kata-kata bijak yang mendukung anggapan
masyarakat tersebut John C. Maxwell dikutip dari leman (2008) yang juga
mengatakan, “orang tidak peduli seberapa banyak anda tahu, sampai ia tahu
seberapa banyak anda peduli”.
Tanggung jawab mahasiswa itu sangat besar. Tak
lepas dari status kemahasiswaannya dia adalah raja bangsa yang harus siap
bertempur untuk orang-orang disekitarnya. Meski banyak yang berkata bahwa
sarjana sekarang bahkan tidak berharga, namun mahasiswa harus tetap maju untuk
menjadi generasi penerus yang saiap memajukan negara dan bangsanya. Karena para
kaum mahasiswa adalah penentu titik nadir bangsa Indonesia ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar