Minggu, 12 Oktober 2014

PUBERITAS MAHASISWA Oleh : Firmansyah Putra



Dalam hidup ini berbagai kejadian menjadi suatu kehendak bagi kita untuk melanjutkan hidup. Banyak fase-fase yang kita lalui, mulai fase kanak-kanak (SD, SMP) menjadi remaja (SMA), hingga remaja menjadi dewasa (Mahasiswa) yang biasa disebut puberitas. Dalam hal ini puberitas menjadi masa yang sangat penting bagi kehidupan pendidikan setiap orang. Dimana setiap orang pasti mengalami apa yang namanya itu fase peralihan. Tak semua orang dapat melalui fase tersebut. Terkadang mereka terjebak dalam kesenangan masa-masa remaja (SMA) yang bahkan tak tepat untuk berada dalam fase dewasa (Mahasiswa). Dalam hal ini seseorang yang mengalami puberitas sangat perlu untuk beradaptasi terhadap lingkungannya.

Adaptasi yang pertama adalah intensitas keterlibatan pembelajar tersebut karena ketika masih berada dalam lingkungan SD, SMP, dan SMA, para pembelajar umumnya masih “didikte” atau diberitahu dalam melakukan sesuatu atau mengambil tindakan oleh Guru-Guru di sekolah. Para siswa dan siswi umumnya pasif (walau tidak semua siswa dan siswi pasif) dalam hal pencarian informasi. Kebanyakan hal, kegiatan, dan informasi yang menyangkut lingkungan sekolah diumumkan baik dari pengeras suara, pengumuman langsung di kelas, maupun selebaran. Sehingga tidak jarang juga hal ini menimbulkan persepsi “kemanjaan” siswa dan siswi di sekolah. Persepsi ini didukung juga oleh pernyataan dari para ahli yang menyebutkan bahwa masa-masa SMP dan SMA merupakan masa peralihan pikiran dan sikap dari kekanak-kanakan, remaja, hingga pertengahan dewasa, dimana sering disebut juga sebagai masa pubertas yang masih belum bisa memutuskan suatu hal sendiri atau perlu rekomendasi dari orang terdekat.
Ketika kata siswa beralih dan bertransformasi menjadi kata mahasiswa, lingkungan yang mempengaruhi pembelajarnya juga berbeda. Di lingkungan kampus, mahasiswa dituntut untuk selalu proaktif untuk menggali informasi baik yang sedang hangat terjadi maupun yang menyangkut materi kuliah. Seseorang yang berada di tingkat mahasiswa di latih untuk mandiri dan belajar bersosialisasi dari unit kegiatan mahasiswa (UKM) yang berada di lingkungan universitas. Acara-acara diluar jam kuliah seperti seminar dan workshop juga merupakan media mahasiswa untuk menambah wawasan dan pengetahuan yang kelak bisa digunakan di kehidupan bermasyarakat.
Adaptasi yang kedua adalah dari segi materi pembelajaran.  Materi pelajaran yang didapat ketika di sekolah menengah tidak jauh berbeda dengan materi yang didapat di perguruan tinggi dan univeritas. Namun, jumlah materi dan pendalamannya yang perlu di pahami. Saat di sekolah menengah, materi pelajaran masih tergolong umum, dasar, dan tidak terlalu mendalam. Hal ini mengingat kemampuan siswa dalam menerima materi yang terlampau banyak dan jumlah waktu yang digunakan relative pendek. Berbeda dengan sistem di universitas yang mengharuskan mahasiswa untuk mendalami materi kuliah secara konsisten dan benar-benar dipahami. Pengklasifikasian jurusan dan program studi seperti jurusan bahasa inggris yang secara spesifik mempelajari bahasa inggris mulai dari dasar hingga tingkat advance adalah faktor yang mepengaruhi berbedanya segi materi dalam lingkungan pendidikan di universitas dengan di sekolah menengah.
Adaptasi tersebut diatas dilakukan tidak lepas dari suatu pandangan bahwa mahasiswa harus lebih berwawasan tinggi, mendalam, kreatif, dan mandiri dari siswa-siswi sekolah menengah. Peluang mahasiswa untuk berpartisipasi dalam lingkungan kerja yang juga dibilang besar jika mahasiswa tersebut memang benar-benar cerdas yang merupakan hasil dari disiplin dan perjuangan keras ketika menuntut ilmu di lingkup universitas.
Beban pikiran pada mahasiswa juga berbeda daripada siswa. Salah satu beban pikiran tersebut adalah bahwa mahasiswa itu harus bekerja dan pekerjaannya pun harus yang tinggi dalam hal status dan gaji daripada siswa. Hal ini karena perbedaan tingkatan pendidikan dan pengetahuan yang didapat. Masyarakat umumnya memandang jika seorang mahasiswa bekerja yang memliki level bawah seperti bekerja menjadi pedagang kaki lima, maka mahasiswa itu dianggap sebagai mahasiswa gagal walaupun ia sudah memperoleh gelar S1 sekalipun. Penyebabnya karena masyarakat cenderung ingin melihat hasil nyata dan konkrit dari seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi. Ada anggapan yang berkembang di masyarakat “buat apa kuliah tinggi-tinggi jika kerjanya pada akhirnya hanya mendorong gerobak”. Ada kata-kata bijak yang mendukung anggapan masyarakat tersebut John C. Maxwell dikutip dari leman (2008) yang juga mengatakan, “orang tidak peduli seberapa banyak anda tahu, sampai ia tahu seberapa banyak anda peduli”.
Tanggung jawab mahasiswa itu sangat besar. Tak lepas dari status kemahasiswaannya dia adalah raja bangsa yang harus siap bertempur untuk orang-orang disekitarnya. Meski banyak yang berkata bahwa sarjana sekarang bahkan tidak berharga, namun mahasiswa harus tetap maju untuk menjadi generasi penerus yang saiap memajukan negara dan bangsanya. Karena para kaum mahasiswa adalah penentu titik nadir bangsa Indonesia ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar