Tradisi Kebebasan Akademik
Sejak universitas pertama kali
berdiri di Bologna (Italia), paham kebebasan yang selama itu dipegang oleh
gereja mulai digulirkan pada Universitas. Semua pimpinan agama memegang
kekuasaan, mengambil keputusan tentang kebenaran-kebebasan bagi masyarakat
melalui mimbar (excathedra). Pada masa itu kebenaran dan keadilan masih
dikendalikan oleh kesejajaran (juxtaposition) antara simpulan yang ditarik dari
tafsir agama dan yang merupakan hasil proses penalaran oleh para pemikir
(ilmuwan dan filosof) semakin diperlukan adanya batasan yang jelas. Tidak
jarang simpulan tersebut menghasilkan pertentangan pandangan (contra position ).
Dari apa yang telah
dicapai oleh para pemikir (ilmuwan dan filosof) pada abad pertengahan dapat
diamati suatu gejala empirik tentang kebebasan untuk mencapai kebenaran :
a. Bahwa masyarakat ilmiah perlu dikembangkan dalam lingkungan perguruan
tinggi.
b. Sikap avveroisme (kelompok ilmiah
nasionalis yang berusaha melepaskan diri dari gereja ) semakin jelas dikalangan
perguruan tinggi, mereka semakin otonom dalam mencapai kebenaran.
c. Otonomi perguruan tinggi berhubungan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Kondisi itu bersifat conditio sinequanon
bagi kemajuan peradaban imu. Dalam hal ini segala pengertian tentang kebebasan
kampus dan kebebasan akademis adalah pengertian yang setara bagi kemajuan.
Kebebasan akademik dalam hal ini lebih berciri
aktivitas wahana pengembangan ilmu pengetahuan yang dapat diikuti oleh sivitas
akademika (dosen dan mahasiswa). Dalam hal ini sivitas akademika akan menempuh
jalur norma akademik, yang mencangkup serangkaian langkah metodologis: penemuan
masalah, tujuan, manfaat, cara mencapai kebenaran, analisis, dan simpulan.
Kebebasan Mimbar Akademik
Dalam perkembangan dan penyelenggaraan otonomi
kampus bagi perkembangan ilmu pengetahuan muncul istilah kebebasan mimbar akademik, yaitu proses pengembangan
ilmu lewat kegiatan perkuliahan (mimbar akademik). Kebebasan mimbar akademik
lebih ditekankan pada pengembangan kognitif (pemahaman), apresiasi (afektif),
dan keterampilan (psikomotorik)yang dilakukan dalam laboratorium dan
perpustakaan. Media untuk pengembangan mimbar akdemik lebih ditekankan pada
diskusi, seminar, dan simposium. Dalam kegiatan ini dosen dan mahasiswa akan
berada dalam suatu pola interese, yaitu berada pada satu tatanan bahasa yang
bersifat setara (VIS a VIS) namun dosen tetap pada posisi pemegang mimbar (ex
cathedra). Posisi pemegang mimbar utama adalah guru besar (professor). Ia
memiliki otoritas sebagai pengembang ilmu karena telah bergelar doctor.
Suria Sumantri (1986 : 27) menyebut mahasiswa sebagai setengah ilmuwan, yaitu
mahasiswa belum memiliki kewibawaan penuh pemegang otoritas dalam kegiatan
ilmu. Fungsi mahasiswa menjadi cukup srtategis dalam kegiatan keilmuan yang
mengarah pada perkembangan peradaban manusia dan teknologi. Pertama, pada
proses pengembangan ilmu mahasiswa, mahasiswa merupakan pelaku muda (colega
minor)yang sedang belajar dan mengalami bimbingan dari dosen (colega mayor).
Mahasiswa akan mengalami pendewasaan diri sebagai ilmuwan. Kedua, pada proses
pengembangan ilmu, mahasiswa merupakan pelaku muda yang pada umumnya sedang
mengalami bimbingan dari para dosen. Dalam hal ini mahasiswa sering kali
memerlukan media tukar pendapat, dialog kritis untuk saling memberi masukan.
Kebebasan Akademik dan
Kebebasan Mimbar Akademik Secara Proporsional
Kesenjangan antara teori keagamaan dan penalaran ilmiah makin membesar
karena para filsuf yang tergabung dalam kelompok penganut averroisme terus bertahan pada pendiriannya
untuk menggarap masalah-masalah filsafat dan ilmu bebas dari ikatannya dengan
keagamaan. Averroisme terus berkembang dan memunculkan berbagai aliran filsafat
serta cabang ilmu secara mandiri. Pesatnya pertumbuhan sebagai cabang ilmu
makin menampilkan ilmu sebagai suatu manifestasi yang otonom dan hal ini
menimbulkan tuntutan agar bagi pusat-pusat keilmuan- universitas diakui juga
otonomi universitas sebagai lembaga yang menyelenggarakan kegiatan ilmiah. Maka
muncullah istilah otonomi universitas, yaitu otonomi kelembagaannya sebagai
pengelola akademik ; dalam suasana itu universitas merupakan tempat persemaian
intelektual dan cultural dalam arti luas, bukan sekedar perakit sarjana.
Otonomi ilmu selanjutnya juga
dianggap sebagai condition sine qua non bagi terwujudnya perkembangan dan
kemajuan ilmu khususnya serta peradaban pada umumnya sering juga diakui sebagai
otonomi universitas sebagai lembaga yang menyelenggarakan pengajaran dan
penelitian berbagai disiplin ilmu sesuai kaidah-kaidah akademik. Sejalan
dengan hasrat diakuinya otonomi ilmu maka kalangan ilmuwan khususnya kalangan
akademis mengharapkan diakui dan berlakunya kebebasan akademik serta kebebasan
mimbar akademik. Yang pertama, berkenaan dengan kebebasan para akademis untuk
melakukan studi, penelitian, pembahasan serta pengajaran ilmu kepada dan antara
sivitas akademika. Yang kedua, berkenaan dengan hak serta tanggung jawab seorang
yang memiliki prasyarat dan atribut untuk diakui wewenang dan wibawa
keilmuannya guna mengutaran fikiran dan pendapatnya ex catedra academica. Hak
menggunakan cathedra (mimbar ) tidak dimiliki setiap sivitas akademika,
melainkan oleh para akademisi yang memenuhi segala persyaratan untuk bertindak
selaku tenaga pengajar atau peneliti yang mandiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar