Minggu, 12 Oktober 2014

KEBEBASAN AKADEMIK, KEBEBASAN MIMBAR AKADEMIK Oleh : Urip Prayitno



Tradisi Kebebasan Akademik
       Sejak universitas pertama kali berdiri di Bologna (Italia), paham kebebasan yang selama itu dipegang oleh gereja mulai digulirkan pada Universitas. Semua pimpinan agama memegang kekuasaan, mengambil keputusan tentang kebenaran-kebebasan bagi masyarakat melalui mimbar (excathedra). Pada masa itu kebenaran dan keadilan masih dikendalikan oleh kesejajaran (juxtaposition) antara simpulan yang ditarik dari tafsir agama dan yang merupakan hasil proses penalaran oleh para pemikir (ilmuwan dan filosof) semakin diperlukan adanya batasan yang jelas. Tidak jarang simpulan tersebut menghasilkan pertentangan pandangan (contra position ).

            Dari apa yang telah dicapai oleh para pemikir (ilmuwan dan filosof) pada abad pertengahan dapat diamati suatu gejala empirik tentang kebebasan untuk mencapai kebenaran :
a.       Bahwa masyarakat ilmiah perlu dikembangkan dalam lingkungan perguruan tinggi.
b.      Sikap avveroisme (kelompok ilmiah nasionalis yang berusaha melepaskan diri dari gereja ) semakin jelas dikalangan perguruan tinggi, mereka semakin otonom dalam mencapai kebenaran.
c.       Otonomi perguruan tinggi berhubungan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Kondisi itu bersifat conditio sinequanon bagi kemajuan peradaban imu. Dalam hal ini segala pengertian tentang kebebasan kampus dan kebebasan akademis adalah pengertian yang setara bagi kemajuan.
Kebebasan akademik dalam hal ini lebih berciri aktivitas wahana pengembangan ilmu pengetahuan yang dapat diikuti oleh sivitas akademika (dosen dan mahasiswa). Dalam hal ini sivitas akademika akan menempuh jalur norma akademik, yang mencangkup serangkaian langkah metodologis: penemuan masalah, tujuan, manfaat, cara mencapai kebenaran, analisis, dan simpulan.

Kebebasan Mimbar Akademik
Dalam perkembangan dan penyelenggaraan otonomi kampus bagi perkembangan ilmu pengetahuan muncul istilah kebebasan  mimbar akademik, yaitu proses pengembangan ilmu lewat kegiatan perkuliahan (mimbar akademik). Kebebasan mimbar akademik lebih ditekankan pada pengembangan kognitif (pemahaman), apresiasi (afektif), dan keterampilan (psikomotorik)yang dilakukan dalam laboratorium dan perpustakaan. Media untuk pengembangan mimbar akdemik lebih ditekankan pada diskusi, seminar, dan simposium. Dalam kegiatan ini dosen dan mahasiswa akan berada dalam suatu pola interese, yaitu berada pada satu tatanan bahasa yang bersifat setara (VIS a VIS) namun dosen tetap pada posisi pemegang mimbar (ex cathedra). Posisi pemegang mimbar utama adalah guru besar (professor). Ia memiliki otoritas sebagai pengembang ilmu karena telah bergelar doctor.
Suria Sumantri (1986 : 27) menyebut mahasiswa sebagai setengah ilmuwan, yaitu mahasiswa belum memiliki kewibawaan penuh pemegang otoritas dalam kegiatan ilmu. Fungsi mahasiswa menjadi cukup srtategis dalam kegiatan keilmuan yang mengarah pada perkembangan peradaban manusia dan teknologi. Pertama, pada proses pengembangan ilmu mahasiswa, mahasiswa merupakan pelaku muda (colega minor)yang sedang belajar dan mengalami bimbingan dari dosen (colega mayor). Mahasiswa akan mengalami pendewasaan diri sebagai ilmuwan. Kedua, pada proses pengembangan ilmu, mahasiswa merupakan pelaku muda yang pada umumnya sedang mengalami bimbingan dari para dosen. Dalam hal ini mahasiswa sering kali memerlukan media tukar pendapat, dialog kritis untuk saling memberi masukan.

Kebebasan Akademik dan Kebebasan Mimbar Akademik Secara Proporsional
Kesenjangan antara teori keagamaan dan penalaran ilmiah makin membesar karena para filsuf yang tergabung dalam kelompok penganut  averroisme terus bertahan pada pendiriannya untuk menggarap masalah-masalah filsafat dan ilmu bebas dari ikatannya dengan keagamaan. Averroisme terus berkembang dan memunculkan berbagai aliran filsafat serta cabang ilmu secara mandiri. Pesatnya pertumbuhan sebagai cabang ilmu makin menampilkan ilmu sebagai suatu manifestasi yang otonom dan hal ini menimbulkan tuntutan agar bagi pusat-pusat keilmuan- universitas diakui juga otonomi universitas sebagai lembaga yang menyelenggarakan kegiatan ilmiah. Maka muncullah istilah otonomi universitas, yaitu otonomi kelembagaannya sebagai pengelola akademik ; dalam suasana itu universitas merupakan tempat persemaian intelektual dan cultural dalam arti luas, bukan sekedar perakit sarjana.
Otonomi ilmu selanjutnya juga dianggap sebagai condition sine qua non bagi terwujudnya perkembangan dan kemajuan ilmu khususnya serta peradaban pada umumnya sering juga diakui sebagai otonomi universitas sebagai lembaga yang menyelenggarakan pengajaran dan penelitian berbagai disiplin ilmu sesuai kaidah-kaidah akademik. Sejalan dengan hasrat diakuinya otonomi ilmu maka kalangan ilmuwan khususnya kalangan akademis mengharapkan diakui dan berlakunya kebebasan akademik serta kebebasan mimbar akademik. Yang pertama, berkenaan dengan kebebasan para akademis untuk melakukan studi, penelitian, pembahasan serta pengajaran ilmu kepada dan antara sivitas akademika. Yang kedua, berkenaan dengan hak serta tanggung jawab seorang yang memiliki prasyarat dan atribut untuk diakui wewenang dan wibawa keilmuannya guna mengutaran fikiran dan pendapatnya ex catedra academica. Hak menggunakan cathedra (mimbar ) tidak dimiliki setiap sivitas akademika, melainkan oleh para akademisi yang memenuhi segala persyaratan untuk bertindak selaku tenaga pengajar atau peneliti yang mandiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar